Peringatan Hari Disabilitas Internasional Jadi Momentum Kesetaraan HAM

49 minutes ago 4

loading...

Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025 di Jakarta, Rabu (3/12/2025), menjadi panggung penting bagi penguatan isu Hak Asasi Manusia (HAM) penyandang disabilitas. Foto: Ist

JAKARTA - Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025 di Jakarta, Rabu (3/12/2025), menjadi panggung penting bagi penguatan isu Hak Asasi Manusia (HAM) penyandang disabilitas . Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia bersama Kementerian Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa kesetaraan bagi penyandang disabilitas bukanlah bentuk bantuan melainkan hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara.

‎Ketua Rekan Indonesia Agung Nugroho menyatakan masyarakat dan negara masih sering memandang penyandang disabilitas sebagai beban, bukan warga negara dengan hak penuh. Persoalan disabilitas tidak boleh lagi diposisikan sebagai urusan belas kasihan.

Baca juga: Sambut Hari Disabilitas Internasional, Kemensos Gagas Kampanye SetaraBerkarya

‎"Disabilitas adalah persoalan HAM. Titik. Bukan persoalan kasihan, bukan amal, bukan bantuan sementara. Hak atas pendidikan, layanan publik, seni, dan perlindungan adalah mandat konstitusi, bukan permintaan," tegas Agung.

Dia menyoroti akar persoalan bukan hanya keterbatasan fasilitas, tetapi cara pandang masyarakat yang masih menempatkan difabel sebagai objek. ‎Perubahan paradigma harus dimulai dari bahasa, kebijakan, hingga ruang partisipasi publik.

Pada kegiatan bertema seni tersebut, Agung menilai karya para difabel merupakan ekspresi politik yang menegaskan keberadaan dan kesetaraan mereka. “Setiap tarian, nada, dan karya seni mereka adalah pernyataan bahwa kami ada, kami lengkap, kami bagian dari bangsa,” ucapnya.

‎Agung juga mengapresiasi kehadiran Tenaga Ahli Bidang Komunikasi Aspirasi Masyarakat dan Pengaduan Kementerian HAM Ester Indahyani Jusuf yang dinilai menunjukkan komitmen negara untuk membuka ruang dialog dengan komunitas disabilitas.

Ester menegaskan komitmen negara terhadap pemenuhan hak disabilitas tidak boleh berhenti pada regulasi. Kesetaraan adalah hak yang dijamin konstitusi dan instrumen HAM internasional, bukan pemberian negara.

‎"Kesetaraan bukanlah pemberian melainkan hak yang dijamin konstitusi, hukum nasional, dan instrumen HAM internasional," ujar Ester mewakili Menteri HAM.

Indonesia telah memiliki kerangka hukum seperti Undang-Undang Penyandang Disabilitas dan Komisi Nasional Disabilitas. Namun, dia mengakui masih banyak tantangan dalam implementasi di lapangan.

‎"Hukum baru bermakna ketika diwujudkan dalam tindakan negara dan layanan publik yang dapat diakses," katanya.

Dia memaparkan tiga komitmen utama pemerintah yaitu memastikan akses penuh terhadap layanan dasar, menempatkan penyandang disabilitas sebagai pemimpin dalam gerakan inklusi, dan menjadikan pemenuhan hak disabilitas sebagai tolok ukur moral kemajuan bangsa.

Negara gagal bila masih ada difabel yang terhalang mengakses pendidikan, layanan publik, atau perlindungan dari kekerasan. ‎"Kemajuan sejatinya bukan beton atau statistik, tetapi ketika martabat setiap warga dijaga," ucapnya.

Rekan Indonesia maupun Kementerian HAM menyoroti beragam kendala yang masih terjadi, mulai dari layanan inklusif yang belum merata, minimnya data akurat, hingga stigma sosial yang membatasi ruang hidup penyandang disabilitas. Keduanya sepakat perubahan hanya dapat dicapai bila pemerintah dan organisasi difabel bergerak bersama.

Ketua Rekan Indonesia Agung Nugroho menutup dengan lima komitmen yang perlu diwujudkan negara dan masyarakat di antaranya penghapusan diskriminasi, aksesibilitas standar, pelibatan difabel dalam kebijakan, ruang seni inklusif, dan penindakan terhadap kekerasan atau pengucilan. ‎"HAM bukan slogan, tetapi disiplin moral untuk memastikan tak satu pun manusia dipinggirkan," katanya.

(jon)

Read Entire Article
Info Buruh | Perkotaan | | |