Supriyono Prima Singgung Star Syndrome Pemain Muda Indonesia: Jangan Sampai Memutus Perjalanan Panjang

8 hours ago 2

Bola.com, Jakarta - Indonesia punya banyak talenta-talenta muda berbakat. Lewat wadah pembidaan di bawah kontrol PSSI, mereka kemudian menimba ilmu sepak bola di luar negeri.

Di eranya masing-masing, kita kemudian mengenal PSSI Primavera, SAD (Sociedad Anonima Deportiva), Baretti, dan terkini Garuda Select.

Sayang, program-program tersebut tak berumur panjang. Padahal, jika diteruskan secara berkesinambungan, bukan tak mungkin akan banyak lagi bakat-bakat muda yang bermunculan.

Lantas, apa perbedaan generasi Primavera dengan SAD, Baretti, dan Garuda Select? Supriyono Prima, salah satu alumnus Primavera asal Diklat Salatiga, lewat kanal YouTube Capt Hamka menuturkan panjang lebar berdasarkan pengalaman serta pengamatannya.

"Ada komitmen yang kita bangun secara individu, terutama yang saya rasakan, saya jalani adalah dulu saya cuma berpikir begitu mendapatkan kesempatan berangkat ke Italia hanya 1 yakni saya harus bisa memberikan sesuatu untuk negara," kata Supriyono Prima.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

Faktor Media Sosial

Mantan jebolan program Primavera yang ditempa selama tiga tahun di Italia pada 1993–1996 itu menilai bahwa perkembangan media sosial turut memengaruhi karakter pemain generasi sekarang.

"Prinsip itu yang saya tanamkan, kemudian saya pegang, kemudian saya ingin berbuat sesuatu lewat sepak bola. Itu mungkin yang membedakannya. Kemudian dengan era sekarang media sosial dengan segala macam," kata jebolan Primavera yang ditempa selama lebih kurang tiga tahun di Italia, dari 1993-1996.

"Kalau zaman dulu kan tidak ada media sosial. Kemudian yang pernah saya sampaikan juga di beberapa tempat bersama teman-teman, saya pernah bertemu dengan almarhum Zulkarnain Lubis," ujarnya.

"Ketika bertemu, saya bertanya,'Bang, kenapa di era kita pemain-pemain seperti ini dan pemain-pemain yang ada sekarang kok sepertinya ketika memakai jersey Indonesia kok tidak memperlihatkan militansi fanatisme nasionalisme yang kuat?'".

"Beliau mengatakan,'Kalau zama kita banyak sekali penonton mengatakan kita tuh bintang. Tapi padahal dalam diri kita, beliau mengatakan seperti itu. Siapa yang tak kenal Zulkarnain Lubis? Tapi beliau mengatakan, 'Saya pribadi tidak merasa jadi bintang'".

Terjebak Star Syndrome

Menurut eks pemain Persib Bandung, kebanyakan generasi di bawahnya terjebak star syndrome. Merasa dirinya sudah pemain bintang.

"Tapi anak-anak sekarang, belum apa-apa, belum memberikan sesuatu apapun sudah membangun dirinya sebagai bintang. Salah satu kendala mencullah star syndrome. Makanya, orang tua harus selalu memproteksi. Kemudian juga pelatih-pelatih yang ada sekarang harus banyak mengedukasi," ujar Supriyono Prima.

"Sebenarnya tidak apa-apa. Tapi controlling perlu. Menjadi permasalahan yang memang bisa dikatakan krusial ya. Bahwa proses panjang yang sudah dilalui tiba-tiba dalam beberapa tahun ketika dia mampu terpilih menjadi pemain nasional, mereka tidak mampu untuk menjaga profesinya".

"Padahal proses yang panjang bahwa dia sudah menjadi pemain sepak bola itu kan pasti tidak hanya membanggakan dirinya sendiri, tapi juga orang tua. Untuk generasi-generasi ke depan jangan sampai periode-periode yang sudah dilalui oleh kita, oleh adik-adik kita, ke atasnya tuh nanti terputus hanya gara-gara star syndrome," pungkas legenda yang kini berusia 50 tahun.

Read Entire Article
Info Buruh | Perkotaan | | |