int DAS Bila Walanae
Selasa 27 Mei 2025 07:01 am oleh ronalyw
MAKASSAR, BKM — Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bila Walanae di Sulawesi Selatan kian memprihatinkan. Dari total luas 744.896 hektare, sekitar 22 persen atau 166.974 hektare sudah masuk dalam kategori sangat kritis dan kritis.
Hal ini terungkap pada kegiatan Konsultasi Publik, Rencana Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Bila Walanae, yang digelar oleh Lembaga riset internasional ICRAF (World Agroforestry) bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) di Hotel MaxOne, Makassar, Senin (26/5).
Dalam kegiatan tersebut ICRAF bersmaa Pemprov Sulsel dan sejumlah stakeholder lainnya membahas strategi-strategi untuk memulihkan DAS Bila Walanae, baik dari aspek biofisik maupun sosial-ekonomi.
DAS Bila Walanae terbagi dalam enam sub-DAS: Batu Puteh, Malanroe, Mario, Minraleng, Sanrego, dan Bila Walanae.
Wilayah aliran ini melintasi delapan kabupaten, yakni Barru, Bone, Enrekang, Maros, Pangkep, Sidenreng Rappang, Soppeng, dan Wajo.
Kerusakan DAS ini menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan semakin sering terjadi.
Kini, proses pemutakhiran dokumen Rencana Pengelolaan DAS (RPDAS) tengah berlangsung. Kegiatan ini dimotori Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sulsel, BPDAS, serta Forum DAS, bekerja sama dengan ICRAF Indonesia dalam program riset-aksi Land4Lives yang didanai Pemerintah Kanada.
Ketua Forum DAS Sulsel, Usman Arsyad menjelaskan bahwa indikator kerusakan semakin jelas terlihat dari intensitas banjir yang kini lebih sering terjadi.
“kalau dulu itu banjir dalam satu tahun kita bisa hitung, sekarang itu intensitasnya semakin merapat, jadi lebib sering terjadi banjir ditambah dengan longsor, kekeringan, kebakaran hutan,” ujarnya.
Selly Oktavia Hariany, Kasubbag Perencanaan BPDAS Jeneberang-Saddang, menyebut Bila Walanae sebagai salah satu dari empat DAS prioritas di Sulsel yang memerlukan penanganan segera.
“Kita punya 4 DAS prioritas di Sulsel, ada juga lintas provinsi, yaitu Larona dan Saddang, tapi yang di Provinsi Sulsel itu sendiri Bila Wanae dan Jeneberang, semuanya ini prioritas penanganannya karena dalam kondisi kritis. tetapi pada saat tahun lalu kami mengadakan Monev itu DAS Bila Wanae tetap pada posisinya masih perlu dipulihkan,” ungkapnya.
Kata dia, Berbagai upaya pemulihan telah digulirkan, seperti reboisasi, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), pembangunan embung, sumur resapan, pembagian bibit produktif, serta penerapan agroforestri berbasis konservasi tanah dan air.
Kritisnya DAS ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya isu mendasar meliputi minimnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya DAS, lemahnya penegakan hukum, terbatasnya anggaran, hingga kurangnya sinergi antar lembaga.
Struktur kelembagaan pengelolaan DAS juga dinilai belum optimal, ditambah tekanan urbanisasi dan praktik pertanian yang belum berkelanjutan.
“Disamping itu juga ada pembagian bibit produktif yang wajib ditanam oleh masyarakat untuk menstimulasi masyarakat. Jadi sudah banyak upaya, tetapi tetap juga terjadi adanya lahan kritis yang bertambah, karena adanya pertambahan Pemukiman, erosi,” bebernya.
Sementara itu Nazaruddin Kammisi, Kabid DAS dan Konservasi DLHK Sulsel, menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi mengapresiasi keterlibatan ICRAF dan seluruh pihak.
“Kami ingin melibatkan semua, termasuk perusahaan dan pelajar. Sesuai arahan Gubernur, setiap siswa di Sulsel diwajibkan menanam 20 pohon,” katanya.
Ia bersyukur jika banyak lembaga/organisasi yang menaruh fokusnya membantu pemerintah dalam mengembalikan fungsi alam, salah satunya DAS ini.
Di waktu yang sama, Direktur CIFOR-ICRAF country program Indonesia, Andree Ekadinata menekankan bahwa pemulihan DAS tidak bisa dilepaskan dari peran manusia yang hidup di dalamnya.
Melalui pendekatan agroforestri, lembaga ini berusaha menyelaraskan perlindungan lingkungan dan peningkatan ekonomi petani.
“Kami percaya bahwa DAS itu isinya bukan hanya komponen yang tidak hidup, tapi ada manusianya juga di sana. Dan itu lah yang menjadi masalah utama kenapa DAS susah dikelola karena ada juga manusia yang hidup di sana,” ujarnya.(jun)