Jika Tak Mengusulkan, Dikenakan Sanksi Tidak Ikut Pemilu
Jumat 3 Januari 2025 07:00 am oleh ronalyw
MAKASSAR, BKM–Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengilangkan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon (Paslon) presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,”ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra ketika membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (2/1).
Mahkamah menilai pokok permohonan para pemohon mengenai inkonstitusionalitas ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan Paslon adalah beralasan menurut hukum.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,”ucap Ketua MK Suhartoyo didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Mahkamah telah mencermati beberapa Pilpres yang selama ini didominasi partai politik (Parpol) peserta pemilu tertentu dalam pengusulan Paslon.
Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait Paslon.
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua Paslon.
Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya dua Paslon, ‘akar rumput’ mudah terjebak dalam polarisasi yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan Pilpres akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.
Dalam putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul Paslon dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
Pertama, semua Parpol peserta pemilu berhak mengusulkan Paslon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan Paslon presiden dan wakil presiden oleh Parpol atau gabungan peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan Paslon presiden dan wakil presiden, Parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan Parpol peserta pemilu tidak menyebabkan dominasi sehingga terbatasnya Paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan Paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaran pemilu, termasuk Parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). (rif)